Dua puluh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan seorang pengelana. Ia
senantiasa menelusuri jalan, ke manapun jalan itu membawanya, untuk
mengunjungi tempat-tempat baru. Dalam penelusuran dan pengembaraannya
itu, ia selalu menemukan berbagai petualangan yang mengasyikkan,
mendebarkan dan fantastis. Sejak pertama kali berkenalan, ia langsung
menceritakan berbagai petualangannya, kapan pun kami bertemu.
Seperti layaknya pengelana, kawan saya ini hidup sederhana. Nyaris
setiap kali bertemu, ia memakai pakaian serba hijau tua, kontras dengan
rambut dan jenggotnya yang memutih. Bahkan sepatunya pun berwarna hijau,
seperti topi berhias bulu warna oranye yang selalu melekat di
kepalanya. Di bahunya tersandang sebuah buntelan, yang dibawanya dengan
bantuan sepotong kayu.
Saya tidak tahu berapa lama dia sudah hidup sebagai pengelana. Saya
hanya mengetahui dia telah melakukan ini selama bertahun-tahun. Dan
sebagai gadis kecil yang tahu bersopan santun, saya tak pernah
menanyakan usianya. Saya bersyukur karena di usia yang tampaknya sudah
tidak muda lagi, tak terlihat tanda-tanda petualangannya akan segera
diakhiri. Selama bertahun-tahun, sekali dalam sepekan, saya bertemu
dengannya. Setiap pertemuan selalu mengesankan, dan sepanjang waktu saya
tidak berjumpa dengannya, saya akan mengingat -ingat kisah yang dia
ceritakan, memutar ulang gambarannya di kepala saya, berharap saya ikut
serta dalam petualangannya itu.
Namanya Pak Janggut.
Di negara asalnya ia bernama Douwe Dobbert. Ia adalah tokoh ciptaan Piet
Wijn dan Thomp Roep, pembuat komik dan penulis cerita dari Belanda.
Bersama Pak Janggut dan buntelan ajaib yang selalu menyediakan apa saja
yang ia butuhkan, saya berkelana mengelilingi Eropa, Jepang, Afrika,
Amerika dan bahkan Negeri Satwa. Saya dikenalkan pada berbagai tokoh
dengan bermmacam-macam kepribadian. Mulai dari yang iseng, usil dan
sering bertengkarseperti tiga penyihir Pompit, Rika dan Domoli; yang
pemberani dan tabah seperti Nana si gadis Afrika, yang manis seperti
Omika; yang lucu seperti si burung Dodo, yang pengetahuannya luas
seperti Kuping Pengingat, bahkan yang jahat dan tak kunjung jera berbuat
onar seperti Ludo Lampart dan Wredulia si penyihir.
Tak hanya orang-orang yang kami temui, Pak Janggut juga membawa saya
menelusuri keindahan alam dan kekayaan plasma nutfah yang beragam di
berbagai belahan dunia. Hutan dan sabana di Afrika, musim salju yang
ganas di Eropa, laut Selatan yang misterius, hal-hal yang hanya bisa
ditemui pada lansekap dan rumah di Jepang. Tak seorang pun dapat
menyangkal betapa cerita Pak Janggut mengandung nilai pendidikan dan
moral yang sangat kaya. Nirkekerasan, anti perbudakan, anti rasialisme,
sensitif gender, kemurahan hati untuk berbagi, pelajaran tentang karma,
usaha untuk menghadapi dan mengalahkan rasa takut, hanyalah sebagian
dari sekian banyak nilai-nilai yang bisa dipelajari dari cerita ini,
lengkap dengan pengetahuan dan tambahan wawasana yang sangat berguna.
Dalam hal ini, Pak Janggut memberikan dasar bagi setiap anak yang
membacanya termasuk saya, dasar pengetahuan dan nilai yang memungkinkan
saya untuk mengenal dunia dengan segala keragamannya tanpa harus pergi
dari keluar rumah.
Dalam semangat yang sama, saya menangkap hal-hal serupa juga ditawarkan oleh pendidikan di Belanda.
Tentu dengan kedalaman dan penekanan tertentu pada beberapa hal.
Kekuatan utama tentu terletak pada kualitas pendidikan dengan standar
internasional. Hal ini disbabkan oleh struktur pendidikan yang lebih
sempurna , penguasaan ilmu yang lebih baik, tingkat kedisiplinan yang
lebih tinggi dan budaya belajar yang jauh lebih matang daripada yang ada
di Indonesia. Pendidikan yang berkualitas akan memberikan pengetahuan
dan wawasan yang memadai untuk berhubungan dan bersaing di tingkat
global.
Aspek lain dari pendidikan dengan standard internasional adalah
pertemuan dan pengalaman langsung untuk bergaul di tingkat global,
karena standar pendidikan yang tinggi mengundang hadirnya mahasiswa
internasional, yang saat ini di Belanda jumlahnya mencapai kisaran
70.000 orang. Angka ini merupakan catatan untuk mahasiswa yang
pendidikannya disponsori oleh pemerintah. Belum termasuk yang membiayai
pendidikannya secara mandiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar